Harita Nikel Panen Penghargaan, Warga Kawasi Justru Dilanda Banjir, Pencemaran dan Ancaman Relokasi
HALSEL – Di tengah sorotan publik terhadap kerusakan lingkungan di Pulau Obi, perusahaan tambang dan hilirisasi nikel Harita Nickel kembali memborong tiga penghargaan bergengsi sekaligus. Perusahaan menerima Anugerah Bisnis & HAM 2025 dari SETARA Institute dengan skor 65 (rating B).
Penghargaan Subroto 2025 dari Kementerian ESDM untuk program pendidikan dan kesehatan, serta Green Innovation Award 2025 pada ajang internasional Asia Corporate Excellence & Sustainability (ACES) Awards.
Direktur Bidang Kesehatan, Keselamatan dan Lingkungan Harita Nickel, Tonny Gultom, dalam keterangannya menyebut bahwa kawasan industri Harita dirancang sebagai Green Industrial Park.
“Kami berkomitmen membangun kawasan industri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Setiap program kami dirancang untuk memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungan,” ujarnya.
Namun, klaim keberlanjutan itu dinilai bertolak belakang dengan kondisi riil yang dialami warga Desa Kawasi.
Dalam tiga bulan terakhir, Kawasi dilanda empat kali banjir berlumpur yang membawa material dari arah perbukitan dan area sediment pond di Toduku. Banjir merendam permukiman, merusak jalan desa, mencemari sumber air bersih dengan lumpur merah, serta melumpuhkan aktivitas ekonomi dan pendidikan.
Sejumlah warga mengaku lahan perkebunan mereka hancur akibat aliran banjir maupun proyek pembangunan bendungan di wilayah Sungai Ake Lamo.
“Kami hidup dari kebun dan laut, tapi sekarang semuanya rusak. Air bersih pun tak bisa diminum karena bercampur lumpur,” ungkap salah satu warga Kawasi.
Sejak operasi tambang dan smelter berjalan, Kawasi yang dahulu dikenal sebagai desa tenang dengan kehidupan bertani dan melaut, berubah menjadi kawasan industri dengan tekanan lingkungan yang semakin berat. Warga menyebut udara kini dipenuhi debu, laut keruh kecokelatan, dan ikan-ikan yang biasa mereka tangkap diduga terpapar logam berat.
Mereka juga mengaku proses pembebasan lahan kerap diwarnai intimidasi.
“Kalau kami menolak tanda tangan, kami ditekan. Ada yang didatangi aparat,” kata warga lainnya.
Investigasi The Gecko Project bersama sejumlah media independen mengungkap adanya polusi berat di Pulau Obi, termasuk rembesan Kromium Heksavalen (Cr(VI)) ke sumber air minum warga. Kandungan zat berbahaya pemicu kanker itu disebut mencapai dua kali lipat dari batas aman. Dokumen internal perusahaan yang bocor menunjukkan bahwa temuan tersebut telah diketahui sejak 2012.
Selain pencemaran air, aktivitas smelter diduga memicu peningkatan kasus ISPA, iritasi mata, dan penyakit kulit akibat paparan debu logam berat dan emisi gas buang seperti SO₂ dan NO. Hingga kini, warga menyebut tidak ada sistem pemantauan kualitas udara yang transparan.
Di sisi lain, tekanan relokasi terhadap warga Kawasi semakin meningkat seiring perluasan kawasan industri. Rencana pemindahan warga ke kawasan Ecovillage dinilai dilakukan tanpa persetujuan penuh masyarakat.
”Relokasi itu bukan sekadar pindah rumah. Itu menghapus sejarah dan identitas kami di tanah ini,” tegas seorang perwakilan warga.
Atas berbagai persoalan tersebut, WALHI Maluku Utara bersama Aliansi Solidaritas Perjuangan Masyarakat Kawasi menyampaikan empat tuntutan utama:
1. Pemenuhan hak dasar warga Kawasi, termasuk air bersih, listrik, kesehatan, dan pendidikan.
2. Penghentian praktik penggusuran ilegal.
3. Pencabutan Perbup No. 72 Tahun 2023 tentang Relokasi.
4. Pertanggungjawaban PT Harita Nickel atas dugaan kejahatan lingkungan.
Direktur WALHI Maluku Utara menegaskan bahwa penghargaan tidak boleh menjadi tameng untuk menutupi kerusakan di lapangan.
“Ada jurang lebar antara panggung penghargaan korporasi dan kenyataan yang dihadapi warga Kawasi. Pemerintah harus turun tangan,” tegasnya.
Kasus Kawasi kembali memperlihatkan kontras tajam antara citra hijau perusahaan di tingkat nasional dan internasional, dengan realitas kerusakan lingkungan serta tekanan sosial di wilayah operasi mereka.










Tinggalkan Balasan